Malam itu, angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah seusai hujan. Di sebuah kampung kecil, terdengar sayup suara azan Isya. Di sebuah rumah sederhana di ujung gang, seorang lelaki paruh baya duduk bersandar di dinding kamar, menatap jam dinding yang berdetak pelan.
Namanya Pak Haris. Ia dikenal sebagai sosok pendiam tapi selalu tepat waktu ke masjid. Hari itu, tubuhnya terlalu lemah untuk berdiri. Tapi ketika azan berkumandang, ia memaksakan diri duduk tegak, berwudhu perlahan, dan shalat di atas sajadah yang mulai usang. Sejak muda, ia tidak pernah meninggalkan shalat. Bagi Pak Haris, waktu hidupnya hanyalah selingan antara satu panggilan adzan ke panggilan adzan berikutnya.
Tiga hari kemudian, masjid itu kembali dipenuhi orang. Tapi bukan untuk berjamaah. Hari itu, Pak Haris dibaringkan di tengah masjid, tubuhnya terbujur kaku, diselimuti kain putih. Warga menyalatinya dengan air mata. Ia telah pergi… menjemput waktu di mana bukan lagi ia yang shalat, melainkan ia yang dishalati.
Apakah kita benar-benar memahami untuk apa waktu diberikan? Apakah kita sadar bahwa detik-detik yang kita habiskan setiap hari sejatinya hanya mengantar kita menuju dua waktu penting: waktu kita shalat dan waktu kita dishalati?
Dunia ini bukan rumah abadi. Hidup hanyalah perjalanan. Seperti musafir yang istirahat sebentar di bawah pohon rindang, lalu melanjutkan perjalanan (HR. Tirmidzi). Tapi sering kali kita lupa, bahwa pohon rindang itu bukan tujuan akhir. Kita sibuk menata tempat persinggahan, padahal kita sedang dalam antrean menuju liang lahat.
Shalat bukan sekadar kewajiban. Ia adalah janji pertemuan. Dalam shalat, kita tidak hanya berdiri, rukuk, dan sujud. Kita menyambung kembali hubungan dengan Dia yang menciptakan kita, yang memberi waktu, dan yang akan mengambilnya kembali.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
(QS. An-Nisa: 103)
Jika waktu hidup kita ibarat kereta, maka shalat adalah stasiun-stasiun penting yang wajib kita singgahi. Melewatkannya berarti kehilangan arah. Dan kelak, saat kereta itu berhenti selamanya, tubuh kita akan dibaringkan untuk shalat terakhir—bukan oleh kita, tapi oleh orang lain.
Seorang ulama besar, Hasan al-Bashri, pernah berkata,
“Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu hanyalah kumpulan dari hari-hari. Jika satu hari berlalu, maka hilanglah sebagian dari dirimu.”
Tidakkah kita merenung? Kita menunda-nunda kebaikan, seakan waktu bersedia menunggu. Padahal kematian itu seperti tamu tak diundang yang bisa datang saat kita sedang merencanakan hal-hal besar.
Kita terlalu sibuk mengejar hal-hal yang akan ditinggalkan. Rumah, jabatan, bahkan pengikut di media sosial. Semua itu fana. Tapi kita lupa memperbaiki satu-satunya bekal yang akan menyertai: amal saleh.
Hidup Adalah Amanah, Mati Adalah Kepulangan
Kita hidup di tengah masyarakat yang kadang menganggap waktu adalah milik pribadi. Padahal setiap detik adalah amanah. Seperti halnya kepercayaan adalah fondasi dalam hubungan, waktu adalah modal utama kita membuktikan cinta kepada Allah.
Jika waktu adalah harta, maka shalat adalah investasi paling menguntungkan. Tapi jika waktu dihabiskan tanpa arah, kita hanya menunggu dijemput ajal dalam kondisi rugi, seperti dalam firman-Nya:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian…”
(QS. Al-‘Ashr: 1-2)
Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Dan langkah itu dimulai dari diri sendiri.
1. Bangun kesadaran waktu – Catat waktu shalat harian, dan pastikan tidak terlewat. Jadikan alarm sebagai pengingat cinta, bukan hanya pengingat tugas.
2. Teguhkan niat sebelum aktivitas – Mulailah hari dengan niat untuk menyambut waktu shalat, bukan sekadar menyelesaikan pekerjaan.
3. Bersihkan jiwa dari penundaan – Setiap kali tergoda menunda shalat, bayangkan saat tubuh kita dishalati, dan kita tak bisa kembali.
Kita semua sedang menunggu. Tapi yang membedakan adalah, apakah kita menunggu dengan bekal atau hanya dengan harap?
Shalat bukan hanya ibadah. Ia adalah bentuk kesiapan. Dan saat waktu terakhir itu datang, semoga kita termasuk orang yang disebut dalam hadis Rasulullah ﷺ:
“Siapa yang akhir perkataannya adalah ‘Laa ilaaha illallaah’, maka ia masuk surga.”
(HR. Abu Dawud)
Mari kita hidup bukan untuk mengejar dunia, tapi untuk bersiap pulang. Karena pada akhirnya, semua kita akan berada di tempat yang sama: dishalati.
Dan semoga, sebelum waktu itu tiba, kita telah cukup bersujud.
“Hidup bukan tentang berapa lama kita tinggal, tapi tentang seberapa dekat kita dengan yang Maha Kekal.”
#jalur3UINPALOPO
#majubersamaUINPALOPO