Ada kalimat bijak yang berkata:
“Jika engkau lupa asalmu, engkau takkan tahu ke mana tujuanmu.”
Begitu pula dengan Luwu—bukan sekadar nama wilayah di peta, melainkan pusaka peradaban, akar sejarah, dan urat nadi budaya yang telah mengalir sejak zaman purba.
Luwu bukan hanya tua dalam usia, tapi dewasa dalam nilai, bijaksana dalam warisan, dan kokoh dalam jati diri.
Dari Luwu, kita belajar arti kebesaran tanpa kesombongan, kekuatan tanpa kekerasan, dan budaya tanpa kehilangan jati diri.
Wija To Luwu berasal dari kata:
Wija/Bija = anak cucu atau keturuna
To = Tau = orang (kepemilikan)
Lu = daratan, Wu = hijau
Wija To Luwu (WTL) adalah anak cucu atau keturunan atau keluarga besar to Lu (Manusia yang mendiami Tanah darata hijau yang kaya yg di karuniakan Tuhan).
Kata Luwu pertama kali digunakan di Wotu (Kabupaten Luwu Timur saat ini). Maka disebutlah “Wotu Ontonna Luwu” (Wotu pusatnya Luwu. Wotu adalah pusat kerajaan Luwu di masa av (Raja pertama Tomanurung Batara Guru – tak ada catatan tahun. Simpurusiang 1268-1293) sebe’ur pindah ke Malangke (Kab. Luwu Utara saat ini). Ke Kota Palopo hingga saat ini.
Wija To Luwu bukan suku, tapi satu entitas bangsa bernama bangsa Luwu yang di naungi oleh kerajaan Luwu yang pada perkembangan di masa jayanya melahirkan atau tersusun dari 12 Suku. Dengan suku penopang utama adalah suka Bugis yang mendiami sepanjang pesisir Tanah Luwu.
Hingga sekarang, bahasa resmi kerajaan dan Istana Kedatuan Luwu adalah bahasa Bugis Ware.
12 Suku Wija To Luwu
Ke Ugi (Bugis), Ke Ware (Bugis), Ke Ala, Ke Raja, Ke Rongkong, Ke Pamona, Ke Limolang, Ke Seko, Ke Wotu, Ke Bajo, Ke Padoe, Ke Mengkoka.
Luwu adalah kerajaan tertua di Sulawesi Selatan. Bukan hanya raja dan bangsawan yang tumbuh di tanah ini, tetapi nilai-nilai luhur seperti siri’ na pacce, pangngadakkang alebbirenna, dan kesetiaan menjaga tanah warisan—itulah yang menjadikan Luwu sebagai penjaga peradaban sejati.
Ketika kita bicara soal Sulawesi Selatan, jangan hanya sebut Gowa, Bone, atau Toraja—karena tanpa Luwu, mereka takkan seutuh itu.
Luwu adalah ibu yang melahirkan, akar yang menguatkan, dan cahaya yang menuntun peradaban masa silam hingga hari ini.
Maka, banggalah menjadi anak Luwu—karena kebanggaan bukan hanya dalam baju adat, bukan sekadar dalam syair lagu daerah, tapi dalam tekad dan tindakan:
menjaga sejarahnya, melestarikan budayanya, membangun masa depannya.
Kita boleh merantau jauh, menjelajah dunia, bahkan mendaki prestasi setinggi-tingginya,
tapi jangan pernah melupakan Luwu.
Karena tanpa Luwu, takkan ada ‘kita’ yang hari ini berdiri dengan percaya diri.
Mari jaga tana Luwu…
dengan iman, agar langkah kita lurus di jalan-Nya.
dengan adab, agar tingkah kita mencerminkan keluhuran.
dan dengan ilmu, agar masa depan Luwu tak hanya dikenang—tapi gemilang.
Karena membangun Luwu tak cukup dengan suara dan bendera…
tapi dengan akhlak, karya, dan kesetiaan pada jati diri.
Dari Luwu… untuk Nusantara.
Dari Luwu… untuk dunia.”
Mohon maaf bila dalam tulisan ini ada kekurangan, kesalaha dan kekeliruan. Mohon saran dan kritiknya yang membangun.
Salam Wija To Luwu/Allebbireng
https://vt.tiktok.com/ZSS8GXoyD/
#jalur3UINPALOPO
#majubersamaUINPALOPO