Kemahasiswaan dan Kerja Sama

Siapa Bilang Pancasila Itu Sakti?

Setiap tanggal 1 Oktober, kita kerap mendengar istilah Hari Kesaktian Pancasila. Sebuah peringatan sejarah yang penting, mengingatkan bangsa ini pada ancaman yang pernah mencoba menggoyahkan dasar negara. Namun, pertanyaannya: benarkah Pancasila itu sakti? Apakah Pancasila memiliki kekuatan magis yang membuatnya kebal dari segala ancaman?

Mari kita jujur pada diri sendiri: Pancasila bukanlah jimat. Ia tidak bisa bekerja sendiri. Ia bukan benda keramat yang secara otomatis menolak segala bentuk perpecahan, kebencian, atau ketidakadilan. Justru yang sejatinya sakti adalah kita—warga negara Indonesia—jika benar-benar menghidupkan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian.

Apa artinya Ketuhanan Yang Maha Esa jika masih ada yang tega menipu, korupsi, atau menyakiti sesama? Apa makna Kemanusiaan yang Adil dan Beradab jika masih ada diskriminasi, perundungan, dan kekerasan? Bagaimana mungkin Persatuan Indonesia terwujud jika kita sibuk memelihara kebencian antar kelompok? Bukankah Kerakyatan dan permusyawaratan hanya akan menjadi slogan jika kita menutup telinga dari suara rakyat kecil? Dan adakah keadilan sosial yang bisa lahir jika yang kuat terus menindas yang lemah?

Allah SWT telah menegaskan dalam Al-Qur’an:

> “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)

 

Ayat ini mengingatkan kita bahwa perubahan dan kesaktian sebuah bangsa tidak jatuh dari langit. Ia lahir dari kesadaran dan tindakan warganya. Jika kita mau berubah, bangsa ini akan kuat. Jika kita tetap lalai, maka sehebat apapun dasar negara, ia akan kehilangan maknanya.

Rasulullah SAW juga bersabda:

> “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.”
(HR. Ahmad)

 

Hadis ini menegaskan bahwa kesaktian manusia bukan terletak pada kata-kata besar, melainkan pada kemanfaatannya bagi sesama. Bukankah itulah inti dari Pancasila? Menjadi manusia yang berketuhanan, berperikemanusiaan, menjaga persatuan, mengutamakan musyawarah, dan mewujudkan keadilan sosial.

Bayangkan jika setiap individu bertekad untuk menyalakan Pancasila dalam diri:

Di rumah, orang tua menanamkan kasih sayang dan kejujuran kepada anak-anaknya.

Di sekolah, guru dan murid membangun budaya saling menghormati dan mengutamakan musyawarah.

Di jalanan, pengendara menghargai hak pejalan kaki, bukan saling serobot.

Di kantor dan lembaga, pemimpin menjalankan amanah tanpa korupsi, tanpa manipulasi.

Maka sesungguhnya, itulah kesaktian yang nyata: kesaktian rakyat yang mau berubah, mau jujur, mau bersatu, dan mau adil.

Pancasila tidak sakti dengan sendirinya. Tetapi ia akan menjadi hidup dan menyala ketika kita, satu per satu warga bangsa, berkomitmen untuk mengimplementasikannya. Inilah jalan menuju masyarakat adil dan makmur yang telah lama dicita-citakan para pendiri bangsa.

Jadi, siapa bilang Pancasila itu sakti?
Yang sakti adalah kita—jika mau menjadikan Pancasila bukan sekadar hafalan, melainkan napas kehidupan.

#jalur3uinpalopo

Tinggalkan komentar

Translate »