Kemahasiswaan dan Kerja Sama

No Filter, No Fake: Belajar Arti Jujur dalam Kehidupan Sehari-hari

Pernahkah kamu merasa hidupmu harus terlihat sempurna di depan orang lain? Setiap kali membuka media sosial, seolah ada dorongan untuk tampil lebih keren, lebih bahagia, dan lebih sukses daripada kenyataannya. Kita memilih foto terbaik, menambahkan filter, menulis caption yang manis, lalu berharap orang lain kagum. Namun, di balik layar, hati kita mungkin sedang lelah, penuh masalah, atau bahkan merasa tidak seindah yang kita tunjukkan.

Inilah realitas zaman sekarang. Kita hidup di era “pamer kebahagiaan” di mana kejujuran sering kali tergeser oleh pencitraan. Padahal, jujur itu bukan hanya soal berkata benar, melainkan juga berani menunjukkan diri kita apa adanya—tanpa topeng, tanpa kepalsuan.

Raka adalah seorang mahasiswa yang dikenal aktif di media sosial. Feed Instagram-nya penuh dengan foto-foto di café hits, perjalanan ke tempat wisata, dan gaya hidup yang tampak menyenangkan. Teman-temannya sering iri melihat betapa “sempurna” hidup Raka.

Namun, di balik layar, kenyataannya berbeda jauh. Raka sedang berjuang keras menyelesaikan skripsinya yang belum kelar-kelar. Kondisi finansial keluarganya pun membuat ia harus hidup lebih hemat, tapi ia enggan mengakuinya. Demi terlihat keren, Raka sering meminjam barang teman hanya untuk difoto, atau mengunggah momen lama seolah itu aktivitas terbaru.

Puncaknya, suatu hari Raka berbohong pada sahabatnya, mengaku sudah bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan besar. Kebohongan itu terbongkar, dan sahabatnya merasa kecewa. Saat itulah Raka sadar: hidup penuh filter mungkin bisa memukau orang lain, tapi kehilangan kepercayaan lebih menyakitkan daripada terlihat sederhana apa adanya.

Dari pengalaman Raka, kita belajar bahwa jujur bukan sekadar kewajiban, melainkan kebutuhan. Saat kita berbohong, kita menambah beban di pundak kita sendiri. Kita harus mengingat detail kebohongan, menutupi cerita lama dengan kebohongan baru, hingga akhirnya terjebak dalam lingkaran yang melelahkan.

Sebaliknya, hidup dengan kejujuran terasa lebih ringan. Kita tidak perlu berpura-pura, tidak perlu takut terbongkar, dan bisa berjalan dengan kepala tegak. Orang-orang mungkin tidak selalu suka dengan kejujuran kita, tapi mereka akan lebih menghargai sikap tulus dibanding kepalsuan.

Zaman sekarang, tantangan untuk jujur semakin besar. Media sosial sering menjadi panggung yang mendorong kita untuk tampil sempurna. Ada yang mengedit wajah hingga tak dikenali, ada yang mengunggah foto liburan padahal sedang di rumah, ada juga yang membuat cerita seolah-olah hidupnya penuh pencapaian.

Masalahnya, kebohongan kecil yang kita anggap sepele bisa berkembang menjadi kebiasaan. Saat terbiasa berpura-pura, kita jadi sulit mengenali diri sendiri. Bahkan lebih parah, kita mulai merasa tidak cukup berharga tanpa topeng itu.

Tapi di sisi lain, era digital juga memberi peluang untuk menebar kejujuran. Banyak orang yang berani membagikan cerita kegagalan, perjuangan, bahkan kelemahan mereka secara terbuka. Dan menariknya, konten semacam itu justru lebih disukai karena terasa real dan relatable. Orang lebih nyaman melihat sesuatu yang jujur daripada sesuatu yang sempurna tapi palsu.

kejujuran adalah fondasi penting dalam kehidupan. Ia membangun kepercayaan, mempererat hubungan, dan membuat kita lebih tenang dalam menjalani hari-hari. Filter mungkin bisa mempercantik foto, tapi tidak bisa menutupi hati yang penuh kepalsuan.

Hidup dengan prinsip “No Filter, No Fake” bukan berarti kita harus membuka semua rahasia atau kelemahan, tetapi berani tampil apa adanya, tanpa menipu diri sendiri dan orang lain. Karena pada akhirnya, dunia tidak butuh kita yang sempurna—dunia butuh kita yang tulus, jujur, dan nyata.

#Jalur3UINPalopo

Tinggalkan komentar

Translate »