Suatu hari di sudut sekolah sederhana di pelosok desa, seorang guru muda bernama Bu Nisa mengamati siswanya membersihkan ruang kelas. Ia memperhatikan dua murid yang bekerja dengan cara yang sangat berbeda.
Dewi, si gadis pendiam, memungut sampah satu per satu dengan sabar, mengelap meja dengan teliti, dan bahkan merapikan rak buku yang tak diminta. Di sisi lain, Raka, murid yang ceria namun terburu-buru, tampak hanya menyapu bagian tengah ruangan lalu duduk bermain ponsel.
Ketika waktu evaluasi tiba, beberapa teman malah menertawakan Dewi. “Sok rajin! Cari muka!” ejek mereka. Sementara Raka justru dipuji oleh beberapa guru karena selalu terlihat aktif di awal.
Bu Nisa termenung. Ia tahu siapa yang bekerja dengan tulus, dan siapa yang hanya menampilkan pencitraan sesaat.
Lalu ia berkata di depan kelas, “Kita bisa memilih menjadi mata lebah atau mata lalat. Lalat selalu mencari kotoran, walau bunga indah terbentang. Tapi lebah hanya mencari bunga, walau di tempat yang banyak sampah. Kamu mau jadi yang mana?”
Sering kali, kita lebih mudah melihat kekurangan orang lain ketimbang kebaikannya. Kita lupa, setiap manusia adalah mozaik kebaikan dan kekurangan. Bila yang kita cari hanya keburukan, maka itulah yang akan kita temukan—persis seperti lalat yang terbang hanya untuk hinggap di luka dan najis.
Namun bila kita memilih untuk melihat dengan hati yang jernih—mata lebah—maka bahkan dalam pribadi yang pendiam, miskin, atau tidak menonjol, kita bisa menemukan nilai dan keindahan.
Rasulullah SAW sendiri adalah teladan utama dalam hal ini. Betapa banyak orang yang dicibir dan diabaikan oleh masyarakat Quraisy, justru diangkat derajatnya karena beliau menilai dengan hati, bukan prasangka. Sabdanya, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Tanggung jawab bukan sekadar menjalankan tugas. Ia adalah cermin ketulusan. Sama seperti amanah, ia adalah titipan yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Dewi yang bekerja dalam diam, tidak mengharap pujian. Ia tahu kelas bersih adalah tanggung jawab bersama, bukan sekadar untuk mendapat nilai atau pujian. Raka bisa saja terlihat sibuk, tapi bila niatnya tidak tulus, maka apa yang tampak akan segera luntur.
Apa jadinya jika lebih banyak orang menilai seperti lebah? Kita akan hidup di tengah masyarakat yang saling menguatkan, bukan mencurigai. Saling memperbaiki, bukan menjatuhkan. Bukankah perubahan besar selalu bermula dari perubahan kecil dalam diri sendiri?
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Ra’d:11,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
Mulailah hari ini dengan niat menilai secara adil dan positif. Bila melihat kekurangan, beri ruang maaf. Bila melihat kebaikan, sampaikan pujian. Hiduplah dengan ketulusan, bukan pencitraan. Lakukan tanggung jawab kecil dengan sungguh-sungguh, karena di situlah nilai besar terbentuk.
Mari jadi manusia berhati lebah—yang membawa manis, bukan racun; yang mencari bunga, bukan luka.
Karena dunia akan lebih damai jika kita memilih untuk melihat dengan mata yang jernih, hati yang tulus, dan niat yang lurus.
#jalur3UINPALOPO
#majubersamaUINPALOPO