Di sebuah perguruan tinggi di kota kecil, ada seorang mahasiswa bernama Fikri. Sejak lahir, fisiknya tidak sempurna. Keterbatasan itu membuat langkahnya sering berbeda dengan teman-temannya. Namun di balik kekurangan fisik, Fikri memiliki semangat yang luar biasa.
Saat awal masuk kuliah, ia hanyalah mahasiswa biasa yang duduk di barisan belakang kelas. Tidak banyak yang menyadari betapa besar mimpinya. Dunia mahasiswa yang penuh dinamika organisasi sering kali dianggap hanya milik mereka yang aktif, percaya diri, dan tanpa kekurangan. Tapi Fikri memiliki keyakinan bahwa organisasi adalah tempat belajar tentang kehidupan, bukan tentang siapa yang sempurna.
Dengan tekad yang besar, ia memberanikan diri mendaftar menjadi pengurus himpunan mahasiswa. Tidak sedikit orang yang meragukan kemampuannya. Ada yang tersenyum sinis, ada yang berbisik pelan, dan bahkan ada yang terang-terangan meremehkannya. “Bisakah dia mengurus organisasi? Jalan saja susah,” begitu kira-kira komentar yang terdengar.
Namun Fikri tidak membalas dengan kata-kata. Ia menjawab dengan kerja keras. Dalam setiap rapat, ia datang lebih awal. Dalam setiap program kerja, ia terjun langsung, tak peduli harus bekerja lebih lama dari yang lain. Perlahan, kinerjanya mulai terlihat. Ide-idenya segar, sikapnya rendah hati, dan ketulusannya mempersatukan banyak orang. Di bawah pengawalannya, organisasi yang semula berjalan biasa saja menjadi lebih hidup dan terarah.
Meski begitu, cibiran tak sepenuhnya hilang. Ada saja bisik-bisik di belakang. Tetapi Fikri memilih fokus pada mimpinya. Ia sadar, cara terbaik membungkam keraguan orang adalah dengan prestasi. Usahanya tidak sia-sia. Berkat kerja kerasnya, Fikri berhasil meraih beasiswa prestasi dari kampus. Bagi Fikri, beasiswa itu bukan hanya bantuan biaya, melainkan pengakuan bahwa kerja keras dan niat tulus akan selalu menemukan jalannya.
Hari-hari kuliah pun berlalu. Setelah lulus, Fikri memilih jalan pengabdian. Ia mengajar di sebuah pesantren di pinggiran kota. Di sana, ia bukan hanya mengajar ilmu pengetahuan, tetapi juga mengajarkan semangat kepada para santri bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah. Perlahan tapi pasti, integritas dan ketulusannya membuat banyak orang menaruh hormat kepadanya. Hingga akhirnya, ia dipercaya memimpin pesantren itu sebagai kepala sekolah.
Kini, di balik meja kerjanya yang sederhana, Fikri tersenyum mengingat perjalanan panjangnya. Dari seorang mahasiswa yang diragukan, ia telah membuktikan bahwa mimpi tidak pernah mengenal batas fisik. Fikri adalah bukti hidup bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh sempurna atau tidaknya tubuh, melainkan oleh seberapa besar keberanian untuk terus berjuang.
Kisahnya menjadi inspirasi bagi banyak orang: keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya. Justru di balik keterbatasan itu, ada kekuatan yang membuat seseorang tumbuh lebih kuat daripada siapa pun.