Setiap manusia memiliki jalan hidupnya masing-masing. Ada yang sejak kecil sudah terbiasa dekat dengan agama, ada pula yang baru menemukan cahaya iman setelah dewasa. Kisah perjalanan spiritual Arif menjadi bukti bahwa Allah selalu membuka pintu hidayah, kapan pun hamba-Nya ingin kembali.
Arif lahir di keluarga sederhana yang taat beragama. Sejak kecil ia diajarkan shalat, mengaji, bahkan mengikuti kegiatan keagamaan di masjid. Namun, ketika memasuki masa remaja dan kuliah, perlahan-lahan ia mulai jauh dari kebiasaan itu. Lingkungan pertemanan yang lebih banyak mengutamakan kesenangan dunia membuatnya terlena.
Shalat sering ia tinggalkan, terutama shalat Subuh yang hampir setiap hari terlewat. Al-Qur’an jarang ia baca, bahkan mushaf kecil pemberian ibunya hanya tersimpan di lemari tanpa pernah disentuh. Saat itu, Arif merasa hidupnya baik-baik saja. Ia berpikir bahwa masih banyak waktu untuk memperbaiki diri nanti.
Namun, di balik keceriaan dan kesibukan dunia, ada ruang kosong di hatinya. Kadang ia merasa gelisah tanpa sebab, mudah marah, dan sulit menemukan ketenangan. Tetapi semua itu ia tutupi dengan tawa dan aktivitas tanpa henti.
Perubahan besar dalam hidup Arif datang saat ayahnya jatuh sakit keras. Selama berbulan-bulan, ayahnya harus bolak-balik rumah sakit. Kondisi keluarga membuat Arif harus ikut menjaga, bahkan beberapa kali tidur di bangsal rumah sakit.
Di malam-malam itulah, Arif sering mendengar suara azan dari mushala kecil dekat rumah sakit. Ia melihat orang-orang datang dengan wajah tenang, menunaikan shalat berjamaah, lalu kembali dengan hati yang lapang. Di sisi lain, ia justru merasa semakin lelah dan bingung.
Puncaknya, ketika kondisi ayahnya semakin kritis, Arif benar-benar merasa tidak berdaya. Semua upaya medis sudah dilakukan, tetapi hasilnya tetap bergantung pada takdir Allah. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arif menengadahkan tangan dan berdoa sungguh-sungguh. Ia menangis, meminta kesembuhan untuk ayahnya, sekaligus memohon ampun atas kelalaiannya.
Sejak saat itu, ada perasaan berbeda dalam hatinya. Doa membuatnya merasa lebih tenang, meskipun masalah belum selesai. Ia mulai menyadari betapa selama ini ia jauh dari Tuhannya, padahal Allah selalu dekat menanti hamba-Nya kembali.
walnya, perubahan Arif tidak instan. Ia mencoba memulai dengan shalat lima waktu, meski masih sering terlambat. Namun perlahan, ia belajar disiplin. Shalat bukan lagi kewajiban yang memberatkan, melainkan kebutuhan hati yang menenangkan.
Setiap kali ia menunaikan shalat, ada rasa lega yang sulit dijelaskan. Ia merasa seakan-akan sedang berbicara langsung dengan Allah, mengadu segala keresahan dan harapan. Dari situlah tumbuh kebiasaan baru dalam dirinya: menjaga wudhu, memperbanyak doa, bahkan mulai membaca Al-Qur’an kembali.
Satu demi satu, ibadah lain pun ia coba jalani. Puasa sunnah, bersedekah, hingga menghadiri kajian keagamaan. Ia menemukan lingkungan baru yang mendukung perjalanannya untuk menjadi lebih taat.
Perubahan tidak hanya terlihat dari ibadah Arif, tetapi juga dari sikap kesehariannya. Ia yang dulu mudah emosi, kini lebih sabar. Ia yang dulu malas membantu keluarga, kini lebih peduli. Bahkan dalam pekerjaannya, ia merasa lebih jujur dan ikhlas.
Ternyata, ibadah yang konsisten tidak hanya membentuk hubungan dengan Allah, tetapi juga memperbaiki hubungan dengan sesama manusia. Ia menyadari bahwa ibadah bukan sekadar ritual, melainkan jalan untuk membersihkan hati, menumbuhkan akhlak, dan menemukan arti hidup.
Arif belajar bahwa lalai bukanlah akhir segalanya. Setiap manusia pasti pernah salah, namun yang terpenting adalah keinginan untuk kembali. Hidayah datang kepada siapa saja yang membuka hati.