Di lingkungan kampus atau asrama, peran seorang Penasehat Akademik (PA) sering kali dianggap sebagai “pengawas ketertiban”. Padahal lebih dari itu, PA adalah sahabat spiritual, penyambung nilai, sekaligus penjaga semangat mahasiswa dalam menjalani masa transisi kehidupan dari remaja menuju dewasa.
Namun menjadi PA bukan soal tegas semata. Lebih dari itu, seorang PA idaman adalah mereka yang mampu menegur dengan hati, bukan hanya dengan aturan.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…”
— QS. An-Nahl: 125
Menegur dengan Hati: Seni yang Lembut Namun Menguatkan
Menegur memang mudah, cukup dengan nada tinggi atau bahasa yang tajam. Tapi menegur dengan hati adalah kemampuan level tinggi yang menuntut kesabaran, empati, dan kepekaan sosial.
Bayangkan seorang mahasiswa yang mulai kehilangan semangat kuliah. Tugas menumpuk, IPK menurun, dan kepercayaan dirinya goyah. Menegur dengan kalimat seperti, “Kalau begini terus, bisa DO!” hanya akan menambah tekanan. Tapi PA yang bijak akan datang dengan pendekatan yang berbeda:
“Aku tahu kamu sedang banyak beban. Tapi coba pelan-pelan kita mulai lagi. Ada yang bisa aku bantu? Kamu tidak sendiri di sini.”
Kalimat sederhana, tapi bisa mengubah arah hidup seseorang. Inilah makna menegur dengan hati—bukan mempermalukan, tapi memulihkan.
PA Idaman
1. Dekat tanpa menghakimi
Mahasiswa akan lebih terbuka jika merasa aman. PA yang selalu hadir tanpa menggurui akan jadi tempat berteduh ketika badai datang.
2. Mendengar sebelum menilai
Kadang mahasiswa butuh didengar, bukan langsung diberi solusi. PA idaman peka akan hal ini.
3. Menjadi contoh, bukan sekadar penegak aturan
PA yang rajin ke masjid, konsisten bangun pagi, dan ramah kepada semua, secara tak langsung akan jadi inspirasi nyata.
4. Menegur dengan motivasi, bukan ancaman
Saat memberi nasihat, fokus pada potensi, bukan kesalahan. Gunakan kata-kata yang mengangkat, bukan menjatuhkan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Permudahlah dan jangan persulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.”
— HR. Bukhari dan Muslim
Salah satu dosen PA pernah membagikan kisah:
“Saya punya binaan yang mulai sering tidak masuk kelas. Daripada saya tegur di grup, saya ajak dia sarapan bareng. Kami ngobrol santai. Dari situ saya tahu, ternyata dia sedang menghadapi masalah keluarga dan tekanan finansial. Sejak saat itu, saya dampingi pelan-pelan. Sekarang, dia sudah bangkit dan malah jadi penggerak komunitas belajar.”
Inilah kekuatan teguran dengan hati—bukan sekadar menegakkan disiplin, tapi menghidupkan harapan.
Di tengah tantangan zaman, mahasiswa sangat butuh figur yang bukan hanya membimbing secara akademik, tapi juga menguatkan secara emosional dan spiritual. Maka, mari kita lahirkan lebih banyak PA idaman—yang mampu menegur tanpa melukai, yang mengingatkan tanpa menggurui, dan yang hadir bukan sekadar sebagai pengawas, tapi sebagai teman seperjalanan menuju kedewasaan dan kebaikan.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
— QS. Ali Imran: 159
catatan ini ditulis untuk menginspirasi seluruh civitas akademika, agar menciptakan lingkungan kampus yang lebih inspiratif, suportif, manusiawi, dan Islami. #jalur3UINPALOPO