Kemahasiswaan dan Kerja Sama

Dunia Layar Ancaman Dunia Nyata.

Namaku Stella, 11 tahun. Aku tinggal serumah dengan Ayah dan Ibu. Tapi, entah sejak kapan, rasanya seperti tinggal sendiri. Setiap hari aku melihat mereka, mendengar suara mereka, bahkan duduk di meja makan yang sama. Tapi hatiku kering, seperti bunga yang lama tak disiram kasih sayang.

“Ma, lihat lukisan Naya dong, bagus nggak?” tanyaku sore itu sambil membawa hasil gambarku yang kutaruh di atas meja.

Tapi Ibu hanya menjawab singkat, “Bagus, sayang,” tanpa menoleh sedikit pun dari layar ponselnya.

Ayah juga tak kalah sibuk. Jari-jarinya terus menari di layar. Katanya, “Kerja, Nak. Kalau Ayah tinggalin HP, kerjaan bisa terbengkalai.”

Aku mengangguk, berusaha mengerti. Tapi malam itu aku menangis dalam diam. Kenapa ya, rindu ini datang justru ketika mereka ada di rumah? Apakah perhatian kini kalah penting dibanding notifikasi?

Ada kalanya aku duduk lama di sudut ruang tamu, berharap Ayah atau Ibu menoleh dan bertanya, “Kenapa, Nak?” Tapi mereka terlalu sibuk dengan dunia yang tak bisa kusentuh—dunia yang mereka panggil “pekerjaan”, tapi terlihat seperti scroll media sosial dan balas pesan yang tak ada habisnya.

Aku rindu dimanja. Aku rindu dielus rambutku sebelum tidur. Aku rindu dipeluk tanpa alasan. Tapi, pantaskah aku menuntut semua itu ketika mereka bilang sedang mencari nafkah? Apakah aku egois karena menginginkan sedikit waktu dan perhatian?

Di rumah kami, layar-layar itu seperti dinding yang membatasi hati. Kami serumah, tapi sering tak saling sapa. Bahkan ketika aku sakit dan menangis di kamar, suara notifikasi masih lebih keras dari isakku.

Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Cukuplah seseorang berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”
(HR. Abu Dawud)

Bukankah anak adalah amanah? Bukankah cinta harus ditunjukkan bukan hanya dalam bentuk materi, tapi juga dalam kehadiran yang utuh?

Kita sering mengira kehadiran fisik sudah cukup. Tapi bukankah cinta sejati justru hadir lewat waktu yang dibagi, mata yang saling menatap, dan tangan yang saling menggenggam?

Banyak orang tua kini lupa: gawai adalah alat bantu, bukan pengganti. HP adalah kendaraan menuju tujuan, bukan rumah yang ditinggali.

Apakah rezeki yang kita kejar sebanding dengan hati anak yang merasa kosong? Bukankah rumah yang nyaman bukan hanya yang penuh barang, tapi yang penuh pelukan dan tawa?

Cinta dari orang tua bagi anak ibarat selimut di malam dingin. Hangat, melindungi, dan menenangkan. Tapi bagaimana jika selimut itu mulai berlubang karena tergerus kesibukan digital?

Bila dibiarkan, anak-anak akan mencari kehangatan di tempat lain—mungkin di layar juga, atau yang lebih mengkhawatirkan: di perhatian semu dari luar rumah.

Tak perlu langkah besar untuk memulai perubahan. Cukup letakkan HP saat makan. Tatap mata anak saat mereka bercerita. Peluk mereka sebelum tidur, dan tanya bagaimana harinya.

Buat jadwal “waktu suci keluarga”, meski hanya 30 menit sehari, tanpa HP, tanpa gangguan. Jadikan itu seperti waktu shalat—tidak bisa ditawar, tidak bisa diganti.

Ingatlah, Rasulullah ﷺ pun menyempatkan diri bermain dengan cucunya, memanggil mereka dengan lembut, mencium mereka penuh cinta. Padahal beliau adalah pemimpin umat. Apakah kita lebih sibuk dari beliau?

Anak-anak tidak butuh orang tua yang sempurna. Mereka hanya butuh orang tua yang hadir, yang menyentuh, yang mendengar. Mereka tak ingin istana megah, cukup pelukan hangat dan senyum tulus.

Mari mulai dari hal kecil: satu pelukan sehari, satu cerita sebelum tidur, satu percakapan tanpa HP.

Karena perubahan besar selalu dimulai dari langkah sederhana. Karena rumah adalah tempat anak belajar mencintai dan dicintai. Jangan biarkan mereka tumbuh dengan luka karena rindu yang tak pernah terobati.

Biarlah mereka tumbuh bukan hanya tinggi badannya, tapi juga tumbuh bahagia di hati mereka—karena pernah punya masa kecil yang hangat bersama Ayah dan Ibu.

Semoga kita semua menjadi orang tua yang bukan hanya tinggal serumah, tapi benar-benar pulang ke rumah.

“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan-pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (qurrata a’yun)…'”
(QS. Al-Furqan: 74)

Mari kita wujudkan doa itu, bukan sekadar membacanya.
#jalur3UINPALOPO
#majubersamaUINPALOPO

Tinggalkan komentar

Translate »