Kemahasiswaan dan Kerja Sama

Ketulusan yang Tak Terlihat: Kisah Seorang Mahasiswa dan Sapu di Tangan

Seperti Pagi yang Biasa, Tapi Tidak Biasa Matahari sudah terbit di atas kampus. Namun suasana masih sepi, hanya suara daun yang disapu angin terdengar samar. Di depan gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), tampak seorang mahasiswa sedang memegang sapu lidi. Sendirian. Tanpa ada yang menyuruh. Namanya Fahri, mahasiswa semester empat yang dikenal kalem dan jarang bicara keras.

Pagi itu, ia datang awal seperti biasanya. Bukan untuk rapat organisasi atau diskusi akademik. Tapi untuk membersihkan. Lantai yang penuh debu. Sudut-sudut yang sering dilupakan. Sampah plastik bekas rapat kemarin malam. Ia bersihkan semua dengan peluh yang tak ia anggap beban.

Seorang teman melintas dan bertanya heran, “Kau disuruh siapa?”
Fahri tersenyum kecil, “Tidak ada yang menyuruh. Ini rumah kita juga, kan?”

Apakah sesederhana itu alasan seseorang rela merendah, menyapu tanpa disorot kamera, tanpa dipuji siapa-siapa?

Ketulusan Itu Seperti Angin: Tak Terlihat, Tapi Terasa

Fahri mengingat betul sabda Nabi Muhammad SAW, “Kebersihan adalah sebagian dari iman” (HR. Muslim). Bukan sekadar slogan yang ditempel di tembok masjid atau mading kampus. Tapi nilai yang ia hidupi. Yang ia bawa dalam tindakan, bukan hanya di ucapan.

Ketika kebanyakan orang berlomba mencari panggung, Fahri justru memilih pinggiran. Ketika sebagian mahasiswa hanya sibuk beradu argumen tentang idealisme, ia diam-diam menghidupi idealisme itu dengan tindakan nyata.

Seorang mahasiswa membersihkan PKM bukanlah berita besar. Tapi di balik sapu dan niat yang jernih, tersimpan pesan kuat: perubahan tidak dimulai dari mikrofon, tapi dari sapu di tangan kanan dan hati yang lapang.

Siapa yang Bertanggung Jawab atas Rumah Bersama Ini?

PKM adalah ruang bersama. Tempat rapat, tempat berproses, tempat tawa dan kadang debat. Tapi siapa yang merasa memiliki? Siapa yang menganggap bahwa menjaga kebersihannya adalah bagian dari integritas?

Bukankah seringkali kita hanya hadir untuk memakai, bukan membersihkan atau merawat?

Menjaga kebersihan bukan sekadar soal fisik. Ia adalah simbol tanggung jawab. Jika seseorang tak mampu membersihkan ruang tempat ia berada, minimal ia tidak mengotori dengan meninggalkan tempat makan/minum sisa.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Fahri tidak bicara banyak. Tapi langkah kecilnya membersihkan PKM adalah bentuk nyata dari perubahan itu. Sebuah revolusi sunyi. Tanpa pidato. Tanpa undangan resmi.

Tanggung Jawab Bersama, Bukan Hanya Slogan

Seperti rumah, kampus pun perlu perawatan. Tapi sayangnya, banyak yang hanya merasa “penghuni sementara”, padahal setiap dari kita adalah penentu wajah tempat ini.

Bayangkan jika setiap mahasiswa seperti Fahri—yang tanpa diminta rela membersihkan. Apa yang akan terjadi jika ketulusan bukan hanya milik satu orang?

Menjaga kebersihan bukan tugas cleaning service semata. Itu adalah cara kita menghormati ruang belajar, tempat kita ditempa, dan simbol kualitas karakter kita.

Seperti menjaga dapur rumah agar tak bau sisa makanan, menjaga PKM pun adalah bentuk cinta pada rumah bersama.

Ajakan: Jadilah Fahri dalam Versimu Sendiri

Tidak perlu menunggu besar untuk memulai. Sapu satu sudut ruang. Rapikan kursi setelah rapat. bersihkan WC setelah digunakan. Ambil kemasan makanan/minuman bekas dan buang ke tempatnya. Hal kecil? Mungkin. Tapi dari hal-hal kecil seperti inilah perubahan besar dimulai.

Bila kita ingin negeri ini bersih dari korupsi, kotoran mental, dan ketidakpedulian, mulailah dari hal paling sederhana: membersihkan tanpa disuruh. Karena karakter bangsa dibangun bukan dari orasi, tapi dari aksi.

Fahri mungkin tidak viral. Tidak mendapat penghargaan. Tapi ia telah menanam benih moral yang tak akan punah: ketulusan.

Semoga kita belajar, bahwa dunia ini tak butuh banyak bicara, tapi banyak keteladanan. Dan semoga kita menjadi pribadi yang membawa sapu, bukan hanya spanduk; yang membawa aksi, bukan sekadar ambisi.

“Satu tindakan jujur lebih kuat dari seribu pidato,” dan satu mahasiswa yang ikhlas bisa lebih berpengaruh dari seribu yang hanya hadir saat pembagian sertifikat.

Mari mulai dari diri sendiri, dari hal yang kecil, dari sekarang. Karena perubahan sejati tidak butuh panggung. Ia hanya butuh ketulusan. Seperti Fahri, dan seperti kamu jika kamu mau.

#jalur3UINPALOPO
#majubersamaUINPALOPO

Satu pemikiran pada “Ketulusan yang Tak Terlihat: Kisah Seorang Mahasiswa dan Sapu di Tangan”

Tinggalkan komentar

Translate »